Statistik Kunjungan

Elegi Seorang Guru Menggapai Kesempatan

Oleh: Dr. Marsigit, M.A
Guru menggapai kesempatan berada di persimpangan jalan:
Di persimpangan jalan inilah aku mempunyai kesempatan, tetapi ketika datang kesempatan itu ternyata dia bersifat jamak. Ada kesempataku berbelok ke kiri, ke kanan, serong kiri, serong kanan, berbalik tetapi juga bisa terus jalan lurus. Anehnya, ada pula kesempatanku untuk ragu-ragu bahkan diam doing nothing. Maka satu-satunya kepastian adalah bahwa aku mempunyai kesempatan memilih. Itulah harga yang selama ini aku cari dan aku perjuangkan. Tetapi ingin aku katakan bahwa tidak memilih pun merupakan kesempatanku. Aku sangat gembira dengan kesempatan ini. Tetapi di tengah euporia ku maka aku mulai bertanya apakah sebenar-benar kesempatan itu? Untuk itulah maka aku ingin bertanya. Tetapi bertanya kepada siapakah aku ini?

Orang tua berambut putih datang menghampirinya:
Muridku, kau telah memanggilku. Ada apakah gerangan?

Guru menggapai kesempatan:
Aku belum bertanya kenapa kau sudah datang?

Orang tua berambut putih:
Bukankah kalimatmu terakhir adalah suatu pertanyaan. Dan sesuai janjiku, dikarenakan sifat hakikiku, bahwa aku akan selalu datang pada setiap pertanyaan dari manapun, oleh siapapun dan tentang apapun.

Guru menggapai kesempatan:
Oh iya, terimakasih atas peringatanmu. Guru, dapatkah kau menjelaskan kepadaku apa sebenar-benar kesempatan itu?

Orang tua berambut putih:
Kesempatan adalah kemerdekaan. Kesempatan adalah potensi sekaligus fakta. Maka sebenar-benar hidup adalah kesempatan. Jikalau seseorang sudah tidak mempunyai kesempatan maka tiadalah dia dapat dikatakan sebagai hidup. Maka jikalau kamu menginginkan tetap hidup maka gapailah kesempatan itu.

Guru menggapai kesempatan:
Lalu apa relevansinya kesempatan itu dengan tugasku sebagai guru

Orang tua berambut putih:
Hidupmu adalah karena hidupnya orang lain. Jika tiadalah orang lain hidup disekitarmu, maka siapakah yang akan mengatakan bahwa dirimu hidup. Oleh karena itu maka wajib hukumnya bahwa engkau sebagai guru harus selalu menghidup-hidupkan murid-muridmu. Murid-muridmu yang hidup itulah yang akan menyanyikan bahwa dirimu juga hidup. Maka sebenar-benar hidup adalah hidup dan saling menghidupkan.

Guru menggapai kesempatan:
Hebat nian kau guru. Aku bertanya tentang kesempatan mengapa engkau sampai pada penjelasan tentang hidup?

Orang tua berambut putih:
Jika engkau telah benar-benar hidup dan telah benar-benar hidup dan menghidupkan, maka tiadalah sesuatu di dunia ini yang tidak kait berkait. Maka kesempatan itu sebenarnya adalah hidup dan hidup itu adalah kesempatan. Semua yang ada di dunia itu kait berkait, dan itu adalah karena pikiranmu yang hidup. Maka jikalau engkau ingin melihat dunia, maka tengoklah ke dalam pikiranmu, karena dunia itu persis seperti apa yang engkau pikirkan.

Guru menggapai kesempatan:
Hebat nian kau guru. Aku bertanya tentang kesempatan mengapa engkau sampai pada penjelasan tentang dunia dan pikiran.

Orang tua berambut putih:
Baiklah aku kembali akan menjelaskan tentang kesempatan. Kesempatan itu adalah keadaan. Kesempatan itu adalah sifat. Kesempatan adalah keadaan di mana suatu sifat tidak tertutup oleh sifat yang lain. Jika suatu sifat menutup sifat yang lain, maka sifat yang menutup dikatakan “menentukan” dan sifat yang tertutup dikatakan “ditentukan”.

Guru menggapai kesempatan:
Lalu apa relevansinya sifat menentukan dan sifat ditentukan dengan tugasku sebagai guru.

Orang tua berambut putih:
Menentukan dan ditentukan itu adalah hubungan kuasa yang satu dengan tidak kuasa yang lain. Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa guru itu kuasa terhadap muridnya, di sadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja. Maka guru itu adalah kuasa untuk menutup sifat murid-muridnya. Sedangkan murid-muridnya tidak kuasa untuk menghindar dari sifat menutup gurunya. Maka sebenar-benar orang yang paling berbahaya di dunia ini adalah mereka yang sangat menikmati kegiatannya menutipi sifat-sifat yang lainnya. Maka engkau adalah guru yang sangat berbahaya bagi murid-muridmu jika engkau sangat menikmati kegiatanmu menutupi sifat murid-muridmu. Maka sebenar-benarnya tidak hidup adalah jika sifat-sifatnya tertutup oleh sifat yang lain.

Guru menggapai kesempatan:
Mohon guru, mohon guru, yang ini diteruskan lebih detail karena menurut saya sangat penting.

Orang tua berambut putih:
Guru yang baik adalah guru yang mampu hidup dan menghidup-hidupkan murid-muridnya. Maka janganlah sekali-kali keberadaanmu dan kegiatanmu sebagai guru menutup sifat-sifat murid-muridmu. Karena sifat yang tertutup itulah sebenar-benar tiada kesempatan.

Guru menggapai kesempatan:
Baik guru, di sini saya mulai antusias karena saya merasa sangat cocok dengan persoalan saya sebagai guru. Kemudian saya ingin bertanya lagi, bilamana dan bagaimana saya dikatakan menutup sifat murid-muridku.

Orang tua berambut putih:
Pertanyaan yang hebat. Itu adalah pertanyaan dari seorang yang cerdas. Ciri-ciri guru menutup sifat-sifat murid-muridnya adalah jika dia secara sepihak mendiskripsikan ciri-cirinya. Jika kau katakan muridmu sebagai malas, padahal dia belum tentu malas, maka yang demikian itu engkau telah menutupi sifatnya. Jika engkau katakan bahwa muridmu bodoh, padahal belum tentu dia bodoh, maka yang demikian itu telah menutupi sifatnya. Ketika kamu bicara sementara muridmu mendengar, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu bekerja sementara muridmu melihat, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu bertanya sementara muridmu berusaha menjawab maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu berinisiatif sementara muridmu menunggu, itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu menyuruh sementara muridmu melaksanakannya maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu menilai prestasi siswamu maka itu adalah kejadian lain dari kegiatanmu menutupi sifat-sifatnya. Maka adalah sungguh berdosalah bagi orang-orang yang gemar menutupi sifat orang lain, karena yang demikian dampaknya begitu besar bagi murid-muridnya. Bahkan aku bisa katakan bahwa menutupi sifat itu tidak lain tidak bukan adalah pembunuhan secara perlahan-lahan.

Guru menggapai kesempatan:
Sebentar guru, jikalau sebaliknya, maksudku justeru yang melakukan atau yang menutui sifat itu siwa, yaitu siswa menutupi sifat gurunya, bukankah itu sama dosanya.

Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar hakekat kesempatan, hakekat sifat dan hakekat kuasa. Sifat-sifat dari orang berkuasa adalah lain pula sifatnya dengan sifat-sifat orang yang tidak atau kurang berkuasa. Jikalau muridmu bicara dan kamu mendengarkan, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu bertanya dan engkau menjawab, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu berinisiatif dan engkau menunggu, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu melakukan kegiatan sementara engkau menontonnya, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Demikian seterusnya. Jadi sifat memberi kesempatan dan sifat menutup sifat, adalah berbeda-beda sifatnya sesuai domisilinya, apakah dalam orang yang berkuasa atau dalam orang yang dikuasai.

Guru menggapai kesempatan:
Kenapa engkau sebut aku sebagai guru menggapai kesempatan. Padahal sesuai dengan uraiannya mestinya aku lebih tepat kalau kau sebut sebagai guru memberi kesempatan.

Orang tua berambut putih:
Itulah ujianku terhadap dirimu. Kalau itu adalah engkau sendiri yang mengatakan maka baiklah untuk dirimu. Tetapi jikalau aku yang mengatakan maka tidak baiklah untuk dirimu. Mengapa? Karena dengan demikian aku telah menutupi sifatmu.

Guru menggapai kesempatan:
Ah guru, mohon maaf, bukankah guru telah berbuat kontradiktif, ambivalensi atau bertentangan di dalam guru sendiri. Di dalam Agama itu disebut sebagai munafik. Bagaimana menurutmu?

Orang tua berambut putih:
Benar ucapanmu. Sampai di sini aku merasa terharu walau mungkin kamu tidak demikian. mengapa karena engkau semakin pandai saja. Sampai di sinilah aku akan katakan sesuatu yang tidak bisa aku katakan sebelumnya.

Guru menggapai kesempatan:
Apa itu guru? Tolong jelaskan. Au menjadi penasaran dibuatnya.

Orang tua berambut putih:
Benar ucapanmu. Ketika aku berbicara panjang lebar kepadamu, maka aku sedang dalam proses menutipi sifat-sifatmu. Padahal aku sedang berbicara memberi kesempatan. Jadi aku tidak bisa memberi kesempatan tanpa menutupi sifat-sifatmu. Maka aku tidak bisa terhindar dari pertentangan dalam diriku. Jikalau engkau sensitif dan peka maka dapat aku katakan “pertentangan” itulah sebenar-benar hakekat diriku.

Guru menggapai kesempatan:
Oh guru mengapa demikian. Mengapa aku capai-capai mengikutimu ternyata engkau hanyalah sebuah kontradiksi. Oh Tuhan ampunilah aku, ya Tuhan. Guru macam apalah engkau ini. Kenapa engkau mengajariku banyak hal padahal engkau sendiri adalah kontradiksi. Aku sudah tidak bisa lagi menangis. Air mataku sudah kering. Lalu aku harus bagaimana?

Orang tua berambut putih:
Tenang dan sabarlah. Karena ciri-ciri orang cerdas adalah jika dia bisa mengendalikan secara proporsional perasaannya.

Guru menggapai kesempatan:
Saya harus sabar bagaiman guru? Bukankah selama ini kau telah menipuku. Menipuku secara besar-besaran. Maka tiadalah ampun bagimu, wahai guruku.

Orang tua berambut putih:
Padahal apa yang akan aku katakan justeru lebih berat dari itu. Sudah saya katakan berkali-kali bahwa diriku tidak lain tidak bukan adalah pengetahuanmu. Telah terbukti bahwa diriku tidak bisa terhindar dari pertentangan, maka dapat aku katakan bahwa bahwa sebenar-benar ilmumu itu adalah pertentangan atau kontradiksi. Tiadalah suatu ilmu tanpa kontradiksi, karena jika tidak ada kontradiksi maka itu berarti berlaku hukum identitas. tetapi dengan hukum identitas kita tidak akan mendapat ilmu apa-apa. Karena A adalah A itulah hukum identitas. “Aku” adalah “Aku” itu juga hukum identitas. Ketahuilah bahwa kalimat “Saya adalah guru” itu sebenar-benar kontradiktif dalam filsafat. Mengapa? Itu adalah kontradiktif dan tetap kontradiktif sampai engkau dapat membuktikan bahwa “Saya” itu identik atau persis saama dengan “guru”. Padahal kita tahu bahwa “saya” tidaklah sama dengan “guru”. “saya” mempunyai sifat-sifat yang berlainan dengan “guru”. Demikian pula bahwa “2+3=5” adalah juga kontradiktif secara filsafati mengapa, karena sebenar-benar bahwa “2+3” belumlah sama dengan “5” sebelum engkau mampu membuktikannya.

Guru menggapai kesempatan:
Wahai guru, aku belum bisa menerima penjelasanmu itu. Karena guruku yang lain mengatakan “Jagalah hatimu dan jangan sampai ada pertentangan di situ. Jika terdapat satu saja pertentangan di hatimu, maka itu pertanda syaitan duduk di situ”. Kalau begitu apakah engkau sedang mengajarkan ilmunya syaitan kepadaku guru?

Orang tua berambut putih:
Benar pertanyaanmu dan benar pula ucapan gurumu yang lain itu. Sedari awal yang aku bicarakan adalah tentang dirimu dan diriku. Berkali-kali aku katakan bahwa diriku adalah ilmumu. Ilmumu adalah pikiranmu. Jadi sebenar-benar aku adalah pikiranmu. Jadi konradiksiku adalah kontradiksi dalam pikiranmu. Barang siapa ingin memperoleh ilmu dalam pikirannya, maka bersiaplah dia menemukan kontradiksi-kontradiksi itu.

Guru menggapai kesempatan:
Terus bagaimana dengan hatiku ini guru?

Orang tua barambut putih:
Hatimu adalah jiwamu. Hatimu adalah hidupmu. Hidupmu tidak lain tidak bukan adalah hatimu. Maka barang siapa baik hatinya maka baik pula hidupnya. Dan barang siapa buruk hatinya maka buruk pula hidupnya. Sebenar-benar hatimu itu adalah satu, yaitu rakhmat Nya. Maka hatimu tidak lain tidak bukan adalah ibadahmu. Sebenar-benar hatimu adalah doa-mu. Jadi tiadalah pertentangan dan keragua-raguan di sana. Barang siapa membiarkan adanya pertentangan dan keragu-raguan di hati maka syaitan lah yang akan menghuni hatinya. Maka dengan tegas aku katakan jagalah hatimu jangan sampai ada pertentangan ataupun kontradiksi.

Guru menggapai kesempatan:
Hah.. itulah sebenar-benar ilmuku guru. Oh Tuhan ampunilah segala dosaku. Aku telah berbuat durhaka kepada guruku. Kenapa guruku yang begitu hebat telah aku sumpah serapah. Manusia macam apakah aku ini ya Tuhan. Kiranya engkau cabut nyawaku sebagai tebusannya, maka ikhlaslah aku. Wahai guruku, sudilah engkau memaafkan diriku, dan sudilah aku masih tetap bersamamu.

Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar ilmu. Itulah sebenar-benar rakhmat. Yaitu jikalau engkau menyadari kelemahanmu dan selalu mohon ampun ke hadlirat Nya. Maka sebenar-benar Filsafat itu adalah refleksi. Refleksi itu artinya melihat diri sendiri. Belumlah engkau dikatakan belajar filsafat jika engkau belum mampu melihat dirimu sendiri. Padahal syarat untuk mampu melihat diri adalah tidak sombong dalam dirimu.  Tidak sombong artinya ikhlas dalam hatimu dan jernih dalam pikirmu. Ikhlas dalam hatimu adalah mensyukuri setiap hal sebagai Rakhmat Nya. Jernih dalam pikirmu adalah terbebas dari prejudice, buruk sangka, atau negatif thinking. Maka untuk menggapai kesempatan, belajar dan selalu belajarlah, membaca dan selalu membacalah, bertanya dan selalu bertanyalah, berdoa dan selalu berdoalah. Ikutilah kuliah filsafat dan bacalah elegi-elegi tanpa prasyarat apapun. Inilah salahsatu kesempatan itu. Maka raihlah kesempatan itu. Tetapi janganlah salah paham karena sebenar-benar guru menggapai kesempatan adalah jika dia dapat selalu hidup dan menghidupkan murid-muridnya. Maka sebenar-benar guru menggapai kesempatan adalah jika murid-muridnya sebenar-benar menggapai kesempatan pula. Maka sebenar-benar hidup adalah memberi dan diberi kesempatan. Amien.


Read more >>
Category: 1 komentar

Indahnya Keragaman Masyarakat Nusa Tenggara Barat dalam Nuansa yang Religius


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang kaya akan budaya dan daerah pariwisata yang tersebar dari sabang hingga merauke. Keragaman budaya yang dimiliki menjadikan Indonesia salah satu pusat tujuan wisata masyarakat dunia. Hal tersebut didukung oleh suasana dan kondisi alam serta masyarakat penghuninya yang memilki budaya dengan karakteristik yang unik dan beraneka ragam antara pulau yang satu dengan yang lainnya.
Masing-masing pulau yang terdiri dari beberapa wilayah tentu memiliki kebudayaan tersendiri sesuai dengan lingkungan dan kondisi alam yang mereka tinggali. Keragaman budaya yang hidup dalam masyarakat diharapkan mampu menjadi katalisator dalam percepatan pembangunan daerah sesuai dengan kadar pembangunan yang bisa dimanfaatkan melalui pengelolaannya, misalnya dengan menjadikannya sebagai daerah tujuan pariwisata yang berbobot melalui pembangunan fasilitas yang menunjang. Pembangunan tersebut diharapkan bisa terealisasi dengan baik terlebih dengan terbukanya angin segar bagi setiap daerah untuk membangun wilayahnya sendiri melalui sistem pemerintahan yang bersifat desentaralisasi sesuai dengan kondisi dan kekayaan daerah pariwisata yang dimiliki.
Kekayaan akan daerah pariwisata yang dimiliki Indonesia bisa kita lihat dari banyaknya tempat-tempat pariwisata yang tersebar di seluruh kawasan nusantara. Kawasan pariwisata yang dimiliki itu tidak hanya terbatas pada kawasan darat saja, akan tetapi terdapat pula di laut. Bahkan di antara sekian banyaknya kawasan pariwisata yang dimiliki masih banyak yang belum terjamah karena kurangnya akses berupa jalan yang layak dan faktor keamanan yang kurang berfihak sehingga daerah atau kawasan tersebut tidak bisa difungsikan secara optimal dan menjadi daerah kunjungan yang digemari oleh para wisatawan. Oleh kerena itu, sampai saat ini pemerintah terus melakukan  pengembangan pada setiap kawasan yang ada .
  Di samping itu, garis khatulistiwa yang melewati Indonesia membuatnya menjadi negara yang memiliki sumber daya alam hayati dan non hayati yang berlimpah ruah. Kekayaan yang dimilki itu tentunya menjadi salah satu manufer untuk menjamin kehidupan yang layak bagi masyarakatnya yang memiliki hak utuh atas pemanfatan segala potensi yang ada serta menjadi objek utama dalam perumusan kebijakan dari setiap langkah yang akan ditempuh oleh pemerintah sehingga terjadi pemerataan  dalam pembangunan.
 Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu bagian dari Indonesia memiliki potensi sumber daya  alam dengan fanorama yang cukup menjanjikan. Daerah pegunungan dan pesisir pantai yang dimiliki cukup luas dan sangat menarik karena memiliki perbedaan dengan tempat-tempat wisata lainnya, misalnya pantai An yang biasa dikenal dengan pantai Kuta oleh masyarakat kebanyakan memiliki kelebihan yang membedakannya dari pantai Kuta yang ada di pulau Bali, yakni  terdapat pasir putih yang dinyatakan hidup oleh para peneliti yang berasal dari Australia. Semua itu bisa dibuktikan dengan melihat langsung pasir yang ada di sana pada saat matahari bersinar terang maka pasir tersebut akan tanpak berjalan dan tidak terdiam. Di luar pantai An yang dimiliki oleh NTB masih banyak pula potensi alam lainnya.
 Selain keindahan alam, Nusa Tenggara Barat juga kaya akan kultur atau budaya masyarakat yang mendiaminya yang masih begitu kental dengan adat istiadat yang dianut sejak zaman nenek moyang terdahulu. Adat-istiadat yang berkembang pada masyarakat NTB pada umumnya memilki fungsi yang cukup penting dalam pengamalan norma agama dan etika di samping nilai estetika atau keindahan yang dimilikinya. Sebagai salah satu contoh yakni adat istiadat nyongkolan atau bejango yang dilakukan dengan mengarak pengantin keliling kampung dengan diiringi tabuhan gamelan yang disertai dengan penggunaan pakaian adat yang bertujuan untuk mengumumkan kepada khalayak atas akad nikah yang telah terjadi sehingga tidak timbul fitnah di kemudian hari meskipun terkadang dilengkapi dengan prilaku senonoh sebagian remaja yang memiliki kebiasaan buruk namun bisa diredam dengan wajar.
 Adat-istiadat yang melekat pada masyarakat NTB diawali oleh Sejarah kehidupan nenek moyangnya yang pernah dijajah dan dikuasai oleh orang-orang hindu. Kekalahan kerajaan hindu membuat islam kembali mendominasi di lingkungan masyarakat NTB. Intraksi yang terjadi antar masyarakat membuat kebiasaan atau adat-istiadat yang ada saling mengisi dan berbaur dengan erat antara yang satu dengan yang lainnya hinga tumbuh dan berkembang sampai sekarang, misalnya saja perpaduan antara budaya hindu dan budaya islam seperti selametan laut yang dilakukan dengan menggelar zikir bersama yang disertai dengan perlengkapan sesajian yang akan disantap bersama dan sejenisnya.
Di luar budaya hindu dan islam, budaya masyarakat NTB juga diperkaya dengan beragam budaya masyarakat yang beragama kristen dan buda serta agama konghucu yang dianut oleh sebagian masyarakat cina yang sudah tinggal di NTB sejak zaman penjajahan terdahulu. Kedamaian hidup dalam kerberagaman budaya yang ada tentu menjadi idaman setiap anggota masyarakat NTB yang ada hingga saat ini.
Seiring dengan keberagaman yang ada, masyarakat pastinya tidak akan mampu mengelak dari dampak positif dan negatif yang bisa ditimbulkan. Dampak positif dan negatif tersebut itu secara keseluruhan pasti akan menyentuh berbagai ranah kehidupan masyarakat, baik yang berhubungan dengan perbedaan agama, suku, ras, golongan maupun budaya. Kondisi keberagaman beserta dampak yang ditimbulkannya tersebut secara logika atau secara wajar mampu merangsang benak kita untuk berfikir terhadap gejolak sosial yang akan terjadi  serta solusi yang pantas untuk mencegah dan mengendalikannya manakala hal itu terjadi secara konkrit dalam kehidupan masyarakat.
Pengelolaan tata cara bersosialisasi yang baik  dengan budi pekerti yang luhur terhadap sesama makhluk tuhan tentu menjadi solusi utama untuk memecahkan permasalahan yang ada. Gejolak-gejolak yang timbul sedikit tidak bisa diredam secara perlahan apabila terjalin komunikasi yang intens antar anggota masyarakat. Hal ini tentu saja telah terlaksana dan disosialisasikan oleh pemerintah NTB melalui kerja sama dengan berbagai pihak  mengingat keberadaan masyarakatnya yang begitu majmuk.
 Tata cara bersosialisasi yang dimaksud di antaranya melalui penerapan ajaran agama berdasarkan keyakinan masing-masing. Hal itu dirasakan patut  karena masing-masing agama pastinya memiliki ajaran-ajaran yang menuntut penganutnya untuk selalu berbuat baik terhadap sesama dan menjaga kelestarian lingkungannya. Namun, arus globalisasi yang terjadi saat ini sering menjadi bumerang di dalam pelaksanaanya terutama bagi masyarakat awam yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memfilter perubahan yang terjadi. Namun, berbeda lagi halnya dengan masyarakat awam yang jauh dari tekhnologi dan memiliki pemahaman yang kuat terhadap nilai budaya yang ia temukan tentu akan sulit terpengaruh dengan kebisaan negatif yang dibawa dari budaya luar meskipun terkadang terjebak dalam beberapa perubahan yang sulit dihindari. Akan tetapi, premasalahan tersebut saat ini sudah bisa teratasi secara perlahan, terbukti dengan kondisi sosial masyarakat kita yang secara umum masih kental dengan sikap mental  religiusnya apalagi di kota-kota yang menjadi pusat pembelajaran agama seperti kota santri pancor .
 Pemanfaatan secara optimal keberagaman yang ada dengan berlandaskan pada perdamaian akan menjadi kunci utama kebahagian hidup masyarakat secara menyeluruh tanpa pandang bulu. Keberagaman yang ada tidak akan menjadi sebuah masalah besar namun justru sebaliknya akan menjadi kekayaan murni yang mendatangkan keuntungan bagi masyarakatnya. Dengan begitu, kehidupan masyarakat akan menjadi sejahtera baik lahir maupun batin.
Sampai saat ini, sebagian masyarakat memandang bahwa keberagaman yang ada merupakan suatu bentuk keadaan alami yang muncul akibat faktor alam yang menuntut manusia untuk mengalami dan melakukan perubahan sehingga muncul berbagai bentuk ras, suku, bahasa, adat-istiadat serta kebiasaan masyarakat yang berbeda. Kekisruhan atau gelombang kecil yang ditimbulkan dari sebentuk perbedaan yang ada pasti akan muncul, akan tetapi dapat diatasi dengan kebiasaan musyawarah untuk mencari setiap solusi dengan melibatkan sesepuh masyarakat dan tokoh agama dari sekelompok masyarakat yang terlibat. Fakta riel yang bisa di lihat di daerah kita tercinta ini misalkan tawuran yang terjadi antara sekelompok masyarakat yang memiliki pemahaman berbeda namun bisa teratasi oleh usaha pemerintah daerah yang memfasilitasi mereka untuk bertemu dalam satu ruangan dan mencari solusi bersama atas permasalahan yang terjadi.
 Keberagaman atau perbedaan yang ada tidak patut dijadikan bumerang bagi masyarakat untuk tetap beradat tindih dan menjaga tata krama terhadap sesama dalam menjalani kehidupan sehari-hari, misalnya masyarakat Narmada mimiliki masyarakat yang menganut kepercayaan atau agama yang berbeda, yakni agama hindu dan islam, namun keduanya mampu hidup berdampingan dan saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya.
  Dalam perkembangannya, NTB mengalami perubahan secara perlahan melalui pemanfaatan sektor-sektor riel dari potensi yang dimiliki. pelaksanaan pembangunan kini mulai merangkak naik dengan didorong oleh kearifan pemimpin yang amanah dan berakhlakul karimah sehingga mampu meningkatkan giroh atau semangat masyarakat untuk terus bersatu membangun NTB agar menjadi provinsi yang ke depan bisa diandalkan sesuai dengan cita-cita dan tujuan pembangunan bangsa dan negara terbukti dengan turunnya angka kemiskinan dan pengangguran di NTB serta banyak penghargaan yang diterima gubernur NTB atas prestasi di berbagai bidang oleh presiden Republik Indonesia. Sebagai masyarakat NTB kita patut berbangga atas pencapaian tersebut.
Saat ini, masyarakat NTB telah memiliki keyakinan, yakni pembangunan hanya bisa terlaksana apabila pemimpin mampu menjadi tauladan bagi masyarakatnya dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Kekayaan alam yang dimiliki hanya bisa bermanfaat bagi masyarakatnya ketika itu dikelola dan dikembangkan secara maksimal oleh para petinggi yang mempergunakan tampuk kekuasaan yang diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mengatasi setiap permasalahan daerah yang sedang dihadapi. Sikap tersebut tentu akan mendapat dukungan maksimal dari masyarakat.
Bercermin dari struktur kepemimpinan yang ada, sudah menjadi kewajiban masyarakat untuk menilik dan menilisik setiap putusan yang dijatuhkan  oleh pemimpin agar semua yang dihasilkan dari keputusan yang telah dimusyawarahkan bersama tepat guna dan tepat sasaran. Tidak satu pun masyarakat menginginkan kehidupan yang tidak layak akibat kesalahan kebijakan yang dilakukan oleh pemimpin mereka.
Berdasarkan fakta yang ada, perkembangan pengetahuan dan kecanggihan teknologi memberikan imbas yang besar terhadap daya nalar atau kemampuan analisis logika yang dimiliki oleh masyarakat NTB. Berdasarkan informasi yang dilihat dari pemanfaatan media yang ada, masyarakat mulai tersadar akan makna kehidupan dengan mempertahankan secara erat semua kebudayaan yang memiliki andil positif dalam membantu petumbuhan dan perkembangan kultur masyarakat dengan memfilter semua kebudayaan luar yang bersifat negatif. Salah satu hal yang patut disoroti saat ini adalah kemampuan  masyarakat kita untuk saling merangkul tanpa menimbulkan riak-riak kecil yang mengandung unsur negatif dengan memandang keberagaman yang ada sebagai suatu bentuk kekayaan yang patut untuk disyukuri dan dimanfaatkan secara optimal.
Keadaan yang mulai membaik itu tentu didukung dengan maksimal oleh pemerintah. Berbagai kebijakan pun dikeluarkan untuk merangsang dan membangkitkan kembali minat masyarakat untuk lebih giat memanfaatkan potensi yang ada agar bisa memperbaiki kondisi kehidupan ke arah yang lebih baik dengan memperhatikan semua ranah kehidupan. Keseriusan pemerintah daerah dalam usaha pemberantasan buta aksara melalui program absano (angka buta aksara nol) menjadi salah satu contoh keseriusannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Sebagai wujud dari kebesaran hati para pemimpin yang memandang pentingnya realisasi ajaran agama yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, pemerintah telah membuat sebuah putusan yang dirasakan penting untuk menunjukkan identitas NTB sebagai salah satu daerah yang memilki kultur islami yang begitu kental yakni melalui pembangunan islamic center. Pembangunan tersebut terwujud sebagai salah satu simbol masyarakat NTB yang religius.
 Dukungan pemerintah terhadap pembangunan dengan mengedepankan nilai-nilai agama dilakukan oleh pemerintah secara merata dan tidak terbatas pada agama yang mendominasi saja. Dukungan itu diwujudkan dengan memberikan forsi yang jelas dalam mencari penerus agama yang dapat dipercaya, contohnya melalui penyeleksian penyuluh agama kristen, hindu dan budha melalui tes cpns yang diselenggarakan dengan seksama di NTB.
Kenyataan yang bisa kita lihat dan rasakan bersama di daerah kita tercinta ini yaitu kehidupan beragama yang harmonis dengan sikap toleransi yang begitu tinggi dilengkapi dengan adat-istiadat yang berpihak pada pembangunan demi kemaslahatan bersama tanpa menginginkan budaya atau agama tertentu sebagai salah satu pemicu yang mendorong terjadinya perpecahan.
Sebagai masyarakat NTB, kita patut berbangga atas apa yang kita miliki saat ini. Gunung yang menjulang tinggi dengan pemandangan alamnya yang begitu indah, laut yang luas dengan pasir dan hasil kekayaannya yang begitu banyak serta tanah yang begitu subur dengan kandungan emas yang dimiliki harus kita kelola dan kita jaga kelestariannya. Ketindihan sikap yang disertai dengan ketaatan terhadap ajaran agama harus tetap digalakkan pula. Kearifan sikap dan usaha yang tulus disertai do’a kepada yang maha pencipta tentu akan membuat kita lebih mengerti dan mencintai tanah kelahiran ini serta mampu mengatasi setiap cobaan yang menimpa meskipun hidup dalam kondisi masyarakat yang majmuk. Indahnya keberagaman dalam nuansa masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada tuhan akan menciptakan kebahagiaan yang hakiki seiring dengan perkembangan zaman. Dirgahayu Nusa Tenggara Barat ke-52 semoga kondisi yang kita rasakan saat ini ke depannya bisa lebih baik lagi sehingga NTB menjadi provinsi yang maju dan diperhitungkan dalam segala bidang di Republik Indonesia seiring dengan bertambahnya usia.
Read more >>

Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 6: Apakah Matematika itu Ilmu?


Berikut masih sangat terkait dengan Intuisi. Pertanyaan yang sangat terkenal diajukan oleh Immanuel Kant (1781) "Apakah matematika itu ilmu?". Dia menguaraikan jawabannya dalam bukunya yang berjudul "Critic of Pure Reason".

Menurut Kant, matematika bisa menjadi Ilmu tetapi bisa tidak. Matematika akan menjadi Ilmu jika dia dibangun di atas INTUISI. Menurut Kant, hakekat Intuisi tidak lain tidak bukan adalah Ruang dan Waktu.Jadi Matematika akan menjadi Ilmu jika dibangun di dalam kerangka Ruang dan Waktu.

Oleh karena Matematika sebagai Ilmu harus dibangun di dalam Intuisi Ruang dan Waktu maka pada akhirnya Kant menyimpulkan bahwa "Matematika akan menjadi Ilmu jika dia bersifat SINTETIK A PRIORI".

Pure Logic dipandang baru sebagai A Priori saja dan belum Sintetik, karena Pure Logic memang bersifat Analitik.

Dengan demikian menurut Kant, Pure Logic belumlah merupakan Ilmu. Karena Pure Logic bukan sebagai Ilmu maka dia tidak memberikan informasi apapun kecuali tentang KONSISTENSI yang ada pada dirinya.

Demikian terimakasih.
Read more >>

Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika

Oleh; Dr. Marsigit, M.A
Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA, UNY

A.Pendahuluan

Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah memunyai aspek pemahaman tentang hakikat matematika, hakikat matematika sekolah, hakikat pendidikan matematika, hakikat nilai matematika, hakikat belajar matematika, hakikat proses belajar mengajar matematika, hakikat pembudayaan matematika sekolah.

Di sisi lain, secara umum, pendidikan karakter harus mampu menjelaskan hakikat karakter, implementasi dan contoh-contohnya, menjelaskan sumber-sumber pengetahuan dan nilai-nilai dan macam-macam karakter yang harus digali dan dikembangkan, ukuran atau pembenaran kelaziman karakter dalam lingkup pribadi, kelompok, berbangsa dan secara universal.

Jika karakter dipandang sebagai nilai yang perlu digali, dikembangkan dan diimplementasikan, maka konteks ruang dan waktu serta arah pengembangannya menjadi sangat penting.

Pendidikan matematika dapat dipandang sebagai suatu keadaan atau sifat atau bahkan nilai yang bersinergis dengan pendidikan karakter. Perpaduan atau sinergi antara pendidikan karakter dan pendidikan matematika merupakan keadaan unik sebagai suatu proses pembelajaran yang dinamis yang merentang dalam ruang dan waktunya pembelajaran matematika yang berkarakter konteks ekonomi, social, politik, dan budaya bangsa.

Dengan demikian, pendidikan karakter dalam pendidikan matematika merupakan potensi sekaligus fakta yang harus menjadi bagian tidak terpisahkan bagi setiap insan pengembang pendidikan, baik pendidik, tenaga pendidik maupun pengambil kebijakan pendidikan.

Secara umum, kiranya semua sependapat bahwa tidak mudah memahami kompleksitas karakter sebagai suatu nilai atau suatu objek. Jika kita memikirkan karakter sebagai suatu objek maka secara umum apapun yang kita bicarakan, selalu berkaitan dengan dua hal pertanyaan yaitu:
Apa objek dan apa metodenya?
Apakah objek formal dan objek material pendidikan karakter itu?
Apakah objek formal dan objek material pendidikan matematika itu?
Apakah objek formal dan objek material pendidikan karakter dalam pendidikan matematika itu?
Untuk dapat menjawab semua pertanyaan itulah, kita memerlukan kajian tentang hakikat dari semua aspek yang terkandung di dalam pendidikan karakter dan pendidikan matematika.

Prinsip-prinsip dasar pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika meliputi berbagai proses yang secara hirarkhis merentang mulai dari kesadaran diri dan lingkungan, perhatian, rasa senang dan rasa membutuhkan disertai dengan harapan ingin mengetahui, memiliki dan menerapkannya, merasa perlunya memunyai sikap yang selaras dan harmoni dengan keadaan di sekitarnya, baik dalam keadaan pasif maupun aktif, serta mengembangkannya dalam bentuk tindakan dan perilaku berkarakter; merasa perlunya disertai usaha untuk mencari informasi dan pengetahuan tentang karakter dan karakter dalam matematika, yang dianggap baik, mengembangkan keterampilan menunjukan sifat, sikap dan perilaku berkarakter dalam pendidikan matematika, serta keinginan dan terwujudnya pengalaman mengembangkan hidupnya dalam bentuk aktualisasi diri berkarakter dalam pendidikan matematika, baik secara sendiri, bersama atau pun dalam jejaring sistemik.

B.Matematika dan Pendidikan Karakter

Secara material objek matematika dapat berupa benda-benda konkret, gambar atau model kubus, berwarna-warni lambang bilangan besar atau kecil, kolam berbentuk persegi, atap rumah berbentuk limas, piramida-piramida di Mesir, kuda-kuda atap rumah berbentuk segitiga siku-siku, roda berbentuk lingkaran, dan seterusnya. Secara material objek matematika itu berada di lingkungan atau sekitar kita.

Secara formal objek matematika berupa benda-benda pikir. Benda-benda pikir diperoleh dari benda konkret dengan melakukan abstraksi dan idealisasi.

Abstraksi adalah kegiatan yang hanya mengambil sifat-sifat tertentu saja untuk dipikirkan atau dipelajari.

Idealisasi adalah kegiatan yang menganggap sempurna sifat-sifat yang ada. Dari model kubus yang terbuat dari kayu jati, dengan abstraksi kita hanya mempelajari bentuk dan ukuran saja.

Dengan idealisasi kita memperoleh informasi bahwa ruas-ruas kubus berupa garis lurus yang betul-betul lurus tanpa cacat.

Secara normatif, objek-objek matematika berupa makna yang terkandung di dalam objek-objek material dan formal.

Makna-makna yang terungkap dari matematika material dan matematika formal itulah kemudian yang menghasilkan value atau nilai matematika.

Misalnya, objek matematika material berupa “bilangan 2 yang terbuat dari papan triplek yang digergaji dan kemudian diberi warna yang indah”.

Di dalam khasanah matematika material, kita dapat memikirkan bilangan 2 yang lebih besar, bilangan 2 yang lebih kecil, bilangan 2 yang berwarna merah, bilangan 2 yang berwarna biru, dan seterusnya.

Pada dimensi formal terdapat pencampuradukan antara pengertian bilangan dan angka. Tetapi, begitu kita memasuki dimensi matematika formal, semua sifat dari bilangan 2 tadi kita singkirkan, dan yang kita pikirkan sifat nilai nya saja dari 2.

Kita tidak mampu memikirkan nilai bilangan 2 jika kita tidak memiliki bilangan-bilangan yang lain. Nilai bilangan 2 adalah lebih besar dari bilangan 1, tetapi lebih kecil dari bilangan 3.

Secara normatif, makna bilangan 2 mengalami ekstensi dan intensi.

Jika diintensifkan, bilangan 2 dapat bermakna “genap”, dapat bermakna “pasangan”, dapat bermakna “bukan ganjil”, dapat bermakna “ayah dan ibu”, atau dapat bermakna “bukan satu”. Secara metafisik, bilangan 2 dapat bermakna “jarak antara dua hal” misalnya jarak antara potensi dan vitalitas, jarak antara konkret dan abstrak, jarak antara subjek dan objek, dan seterusnya.

Jika diekstensifkan, maka makna bilangan 2 dapat berupa 2 teori, 2 teorema, 2 sistem matematika, 2 variabel, 2 sistem persamaan, dan seterusnya. Dengan cara yang sama kita dapat melakukan intensi dan ekstensi untuk semua objek matematika.

Uraian di atas barulah tentang dimensi matematika dari bilangan 2 dan objek-objek matematika yang lainnya.

Jika ingin menguraikan bagaimanakah implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah, kita masih harus memikirkan pendidikan matematika, pembelajaran matematika, berpikir matematika, dan seterusnya.

Katagiri (2004) menguraikan bahwa berpikir matematika meliputi 3 aspek: pertama, sikap matematika, kedua, metode memikirkan matematika, dan ketiga, konten matematika.

Berpikir matematika juga merentang berpikir matematika pada dimensinya. Artinya, ada berpikir matematika di tingkat sekolah/material, atau perguruan tinggi/formal.

Secara umum, sikap matematika ditunjukkan oleh indikator adanya rasa senang dan ikhlas untuk mempelajari matematika, sikap yang mendukung untuk mempelajari matematika, pengetahuan yang cukup untuk mempelajari matematika, rasa ingin tahu, kemamuan untuk bertanya, untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman matematika.

Secara pragmatis, kita dapat menyatakan bahwa matematika adalah himpunan dari nilai kebenaran yang terdiri dari teorema-teorema beserta bukti-buktinya.

Sementara itu, filsafat matematika muncul ketika kita meminta pertanggungjawaban akan kebenaran matematika. Oleh karena itu, filsafat matematika merupakan pandangan yang memberikan gambaran penting dan menerangkan secara tepat bagaimanakah seseorang dapat mengerjakan matematika.

Perbedaan filsafat matematika yang dianut akan menyebabkan perbedaan praktik dan hasil pendidikan matematika. Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika merupakan implikasi dari kesadaran akan pentingnya refleksi kegiatan matematika melalui kajian matematika dan pendidikan matematika pada berbagai dimensinya.

Dengan demikian implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika mengandung makna seberapa jauh kita mampu melakukan kegiatan dalam rentang niat, sikap, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman matematika, pendidikan matematika, dan pembelajaran matematika.

Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika dapat dicapai atas dasar pemahaman tentang pengetahuan matematika yang bersifat objektif dan pelaku matematika yang bersifat subjektif di dalam usahanya untuk memperoleh justifikasi tentang kebenaran matematika melalui kreasi, formulasi, representasi, publikasi dan interaksi.

Secara eksplisit implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika mendasarkan pada :
(1) pengetahuan matematika pada berbagai dimensinya, yang meliputi hakikat, pembenaran, dan kejadiannya,
(2) objek matematika pada berbagai dimensinya yang meliputi hakikat dan asal-usulnya,
(3) penggunaan matematika formal yang meliputi efektivitasnya dalam sains, teknologi, dan ilmu lainnya, serta
(4) praktik matematika pada berbagai dimensi secara lebih umum termasuk aktivitas para matematikawan atau aktivitas matematika para siswa SD.

C.Pendidikan Matematika dan Pendidikan Karakter

Secara umum diakui bahwa isi dan metode matematika formal, karena hakikatnya, membuat matematika menjadi abstrak, umum, formal, objektif, rasional, dan teoretis. Ini adalah hakikat ilmu pengetahuan dan matematika.

Dengan pendekatan ini kaum absolutis membangun matematika formal yang dianggapnya sebagai netral dan bebas nilai (Shirley, 1986). Hal-hal yang terikat dengan implikasi sosial dan nilai-nilai yang menyertainya, secara eksplisit, dihilangkannya.

Para absolutis teguh pendiriannya dalam memandang secara objektif kenetralan matematika formal. Tetapi dalam kenyataannya, nilai-nilai yang terkandung dalam hal-hal tersebut di atas, membuat masalah-masalah tidak dapat dipecahkan. Hal ini disebabkan karena mendasarkan hal-hal yang bersifat formal saja hanya dapat menjangkau pada pembahasan bagian luar dari matematika itu sendiri.

Matematika yang dipromosikan itu sendiri secara implisit sebetulnya mengandung nilai-nilai. Abstrak adalah suatu nilai terhadap konkret, formal suatu nilai terhadap informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap penemuan, rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum terhadap hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan pikiran terhadap kerja dengan tangan, dan seterusnya.

Jika berkehendak menerima kritik yang ada, sebetulnya pandangan mereka tentang matematika formal yang netral dan bebas nilai juga merupakan suatu nilai yang melekat pada diri mereka dan sulit untuk dilihat.

Kaum social constructivits memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling terkait dengan hakikat dan sejarahnya.

Akibatnya, matematika dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya dalam konteks budayanya.

Sejarah matematika adalah sejarah pembentukannya, tidak hanya yang berhubungan dengan pengungkapan kebenaran, tetapi meliputi permasalahan yang muncul, pengertian, pernyataan, bukti dan teori yang dicipta, yang terkomunikasikan dan mengalami reformulasi oleh individu-individu atau suatu kelompok dengan berbagai kepentingannya.

Pandangan demikian memberi konsekuensi bahwa sejarah matematika perlu direvisi. Dengan demikian, pemikiran kaum social constructivist mengarah kepada kebutuhan matematika material.

Kaum absolutis berpendapat bahwa suatu penemuan belumlah merupakan matematika dan matematika modern merupakan hasil yang tak terhindarkan.

Namun, bagi kaum ‘social constructivist’ matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak terhindarkan, melainkan merupakan evolusi hasil budaya manusia.

Joseph (1987) menunjukkan betapa banyaknya tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari pusat peradaban dan kebudayaan manusia.

Sejarah matematika perlu menunjuk matematika, filsafat, keadaan sosial dan politik yang bagaimanakah yang telah mendorong atau menghambat perkembangan matematika.

Sebagai contoh, Henry dalam Ernest (1991: 34) mengakui bahwa calculus dicipta pada masa Descartes, tetapi dia tidak suka menyebutkannya karena ketidaksetujuannya terhadap pendekatan infinitas.

Restivo, MacKenzie dan Richards dalam Ernest (1991 : 203) menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara matematika dengan keadaan sosial; sejarah sosial matematika lebih tergantung kepada kedudukan sosial dan kepentingan pelaku dari pada kepada objektivitas dan kriteria rasionalitasnya.

Kaum social constructivist berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan merupakan karya cipta. Kelompok ini juga memandang bahwa semua pengetahuan memiliki landasan yang sama, yaitu ‘kesepakatan’.

Baik dalam hal asal-usul maupun pembenaran landasannya, pengetahuan manusia memiliki landasan yang merupakan kesatuan, dan oleh karena itu semua bidang ilmu pengetahuan manusia saling terikat satu dengan yang lain.

Akibatnya, sesuai dengan pandangan kaum social constructivist, matematika tidak dapat dikembangkan jika tanpa terkait dengan pengetahuan lain, dan yang secara bersama-sama memunyai akarnya.

Dengan sendirinya matematika tidak terbebaskan dari nilai-nilai dari bidang pengetahuan yang diakui karena masing-masing terhubung olehnya.

Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan diri manusia (subjektif), jelaslah bahwa matematika tidak bersifat netral dan bebas nilai.

Dengan demikian matematika memerlukan landasan sosial bagi perkembangannya (Davis dan Hers dalam Ernest 1991 : 277-279).

Dengan demikian hakikat mempelajari matematika adalah mempertemukan pengetahuan subjektif dan objektif matematika melalui interaksi sosial untuk menguji dan merepresentasikan pengetahuan-pengetahuan baru yang telah diperolehnya.

Di dalam usahanya untuk memperoleh atau mempelajari pengetahuan objektif matematika, siswa mungkin perlu mengembangkan prosedur, misalnya : mengikuti langkah yang dibuat orang lain, membuat langkah secara informal, menentukan langkah awal, menggunakan langkah yang telah dikembangkan, mendefinisikan langkah sehingga dapat dipahami orang lain, membandingkan berbagai langkah, dan menyesuaikan langkah.

Melalui langkah-langkah demikian, siswa akan memperoleh konsep matematika yang telah teraktualisasi dalam dirinya sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan matematikanya bersifat subjektif.

Namun, dalam beberapa hal, pengetahuan subjektif matematikanya belum tentu sesuai dengan pengetahuan objektifnya.

Untuk mengetahui apakah pengetahuan subjektif matematikanya telah sesuai dengan pengetahuan objektifnya, siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan publikasi.

Kegiatan publikasi matematika dalam praktiknya dapat berupa tugas-tugas yang diberikan oleh guru, pekerjaan rumah, membuat makalah, atau pun mengikuti ujian.

Interaksi sosial di antara para siswa dan guru akan dapat memberikan kegiatan kritisisasi untuk pembetulan konsep-konsep sehingga siswa akan memperoleh perbaikan konsep, dan akhirnya pengetahuan subjektif matematikanya telah sama dengan pengetahuan objektifnya.

Hubungan antara pengetahuan objektif dan pengetahuan subjektif matematika dan langkah-langkah implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika dapat diturunkan dari konsep yang diadaptasi dari Ernest.P (1991) sebagai berikut.


D.Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika

Hartman (1942) menggariskan bahwa apa pun tentang objek pikir, termasuk matematika, selalu memunyai nilai meliputi empat hal: nilai dikarenakan maknanya, nilai dikarenakan tujuan atau manfaatnya, nilai dikarenakan fungsinya dan nilai dikarenakan keunikannya.

Agar dapat dilakukan usaha implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah, seyogyanya kita menggunakan dimensi matematika material atau matematika pada dimensi transisi menuju matematika formal.

1.Pendidikan Karakter dan Hakikat Matematika Sekolah

Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah dapat diawali dengan mendefinisikan hakikat matematika sekolah.

Ebbutt dan Straker (1995) mendefinisikan matematika sekolah sebagai:
(1) kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan,
(2) kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan, (3) kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan,
(4) kegiatan problem solving merupakan bagian dari kegiatan matematika,
(5) algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika, dan
(6) interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika.

Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah dapat menekankan kepada hubungan antarmanusia dan menghargai adanya perbedaan individu baik dalam kemampuan maupun pangalaman.

Matematika dipandang sebagai kebenaran absolut dan pasti, tetapi peran individu sangat menonjol dalam pencapaiannya.

Tetapi, siswa dapat dipandang sebagai makhluk yang berkembang (progress). Oleh karena itu matematika dipandang secara lebih manusiawi yang antara lain dapat dianggap sebagai bahasa, dan kreativitas manusia.

Pendapat pribadi dihargai dan ditekankan. Siswa memunyai hak individu untuk melindungi dan mengembangkan diri dan pengalamannya sesuai dengan potensinya.

Kemampuan mengerjakan soal-soal matematika adalah bersifat individu. Teori belajar berdasarkan anggapan bahwa setiap siswa berbeda antara satu dengan lain dalam penguasaan matematika.

Siswa dianggap memunyai kesiapan mental dan kemampuan yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Oleh karena itu, setiap individu memerlukan kesempatan, perlakuan, dan fasilitas yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika.

Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika dan pembelajaran matematika berimplikasi kepada fungsi guru sebagai fasilitator sebaik-baiknya agar siswa dapat mempelajari matematika secara optimal.

Matematika dipandang bukan untuk diajarkan oleh guru, tetapi untuk dipelajari oleh siswa. Siswa ditempatkan sebagai titik pusat pembelajaran matematika.

Guru bertugas menciptakan suasana, menyediakan fasilitas, dan lainnya, sedang peranan guru lebih bersifat sebagai manajer daripada pengajar.

Pembelajaran dilakukan dalam suasana yang kondusif, yaitu suasana yang tidak begitu formal.

Siswa mengerjakan kegiatan matematika yang berbeda-beda dengan target yang berbeda-beda.

Guru memunyai tiga fungsi utama yaitu: sebagai fasilitator, sumber ajar dan pemonitor kegiatan siswa.

Dengan demikian, guru dapat mengembangkan metode pembelajaran secara bervarisasi: ceramah, diskusi, pemberian tugas, seminar, dan sebagainya. Sumber belajar atau referensi merupakan titik sentral dalam pembelajaran matematika.

Variasi sumber belajar atau referensi diperlukan termasuk buku-buku, jurnal, dan akses ke internet. Penilaian dilakukan dengan pendekatan asesmen, portofolio, atau autenthic assessment.

2.Hermenitika Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika

Unsur dasar hermenitika implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika adalah kegiatan mengomunikasikan matematika pada berbagai dimensi.

Komunikasi dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk vitalitas potensi-potensi relational antara subjek-subjek, subjek-objek, objek-subjek atau objek-objek. Bentuk vitalitas memiliki makna kesadaran dan perubahan ke dalam, paralel atau keluar dari diri potensi.

Oleh karena itu salah satu sifat vitalitas adalah sifat relational dan sifat penunjukkan kepada subjek atau objek di dalam, paralel atau diluar dirinya.

Maka, terbentuklah suatu relasi yang bersifat fungsional diantara subjek-subjek atau objek-objek.

Sifat penunjukkan terhadap subjek atau objek selain dirinya disebut juga sebagai sifat determine.

Satu-satunya substansi yang tidak dapat dihilangkan dari relasi penunjukkan atau determine adalah “sifat”.

Jadi, untuk dapat memahami secara ontologis hakikat komunikasi matematika, kita harus dapat memahami sifat, bukan sebagai sifat, tetapi sifat sebagai subjek dan sifat sebagai objek.

Jika sifat-sifat sudah melekat pada subjek atau objeknya, maka kita dapat mengatakan sebagai ciri-ciri subjek atau ciri-ciri objek berdasar sifat-sifatnya.

Jadi komunikasi matematika merupakan bentuk vitalitas dari potensi korelational yang memunyai sifat-sifat penunjukkan atau determine, yaitu terkarakterisasikannya sifat-sifat yang terjunjuk berdasar sifat-sifat penunjuk.

Dimensi komunikasi ditentukan oleh sifat apakah sifat dari subjek atau objeknya memunyai sifat dengan arah ke dalam, arah paralel, atau arah ke luar.

Dimensi komunikasi juga ditentukan oleh banyaknya satuan potensi matematika yang terlibat dan ragam vitalitas yang diakibatkan.

Secara harfiah, kristalisasi dimensi komunikasi matematika memberikan makna adanya komunikasi material matematika, komunikasi formal matematika, dan komunikasi normatif matematika.

a.Pendidikan karakter melalui komunikasi material matematika

Komunikasi material matematika didominasi oleh sifat horisontal arah vitalitasnya.

Dilihat dari segi keterlibatannya, jumlah satuan potensi yang terlibat adalah bersifat minimal jika dibandingkan dengan komunikasi dari dimensi yang lainnya.

Maka, sebagian orang dapat memperoleh kesadaran bahwa komunikasi material matematika adalah komunikasi dengan dimensi paling rendah.

Sifat korelasional sejajar memiliki makna kesetaraan antara subjek atau objek komunikasi. Implikasi dari kesetaraan subjek dan objek adalah bahwa mereka memiliki posisi yang paling lemah dalam sifat penunjukannya.

b.Pendidikan Karakter melalui Komunikasi Formal Matematika

Komunikasi formal matematika didominasi oleh sifat-sifat korelasional ke luar atau ke dalam dari vitalitas potensinya.

Korelasi ke luar atau ke dalam memunyai makna perbedaan antara sifat-sifat yang di luar dan sifat-sifat yang di dalam.

Korelasi antara perbedaan sifat itulah yang menentukan sifat dari subjek atau objek komunikasinya.

Implikasi dari perbedaan sifat-sifat subjek atau sifat-sifat objek memberikan penguatan adanya perbedaan sifat penunjukan.

Vitalitas dari subjek matematika dengan potensi lebih besar akan mengukuhkan dirinya tetap bertahan sebagai subjek, sedangkan vitalitas dari subjek dengan potensi lebih kecil akan menggeser peran subjek dirinya menjadi peran objek bagi subjeknya.

Intuisi two-oneness akan membantu subjek matematika untuk memahami objek matematika.

c.Pendidikan Karakter melalui Komunikasi Normatif Matematika

Komunikasi normatif matematika ditandai dengan meluruhnya sifat-sifat penunjukan korelasionalitas penunjukannya pada diri subjek dan objeknya.

Namun demikian, komunikasi dikatakan memunyai dimensi yang lebih tinggi dikarenakan keterlibatan satuan-satuan potensinya lebih banyak, lebih luas, dan lebih kompleks.

Meluruhnya sifat penunjukan korelasional horisontal bukan disebabkan oleh lemahnya potensi dan vitalitas komunikasi, tetapi semata-mata dikarenakan luasnya jangkauan dan keterlibatan satuan-satuan potensi dan vitalitas baik pada diri subjek maupun objek.

Maka, pada komunikasi normatif dapat dideskripsikan sifat-sifat pada subjek dan objeknya sebagai subjek yang memunyai potensi dan vitalitas matematika yang tinggi, tetapi memunyai korelasional horisontal yang rendah.

Dapat dimengerti bahwa pada komunikasi normatif matematika, sifat-sifat korelasional ke dalam dan keluar bersifat semakin kuat. Mereka semakin kuat jika dibandingkan pada komunikasi material ataupun komunikasi formal.

Keadaannya dapat digambarkan sebagi suatu gencatan senjata atau cease fire di antara potensi dan vitalitas matematika ke dalam dan ke luarnya.

Struktur komunikasi demikian ternyata merupakan struktur komunikasi yang lebih banyak mampu menampung karakteristik subjek atau objek komunikasi matematika.

Komunikasi normatif matematika ditandai adanya sifat-sifat ideal yang abstrak dari potensi dan vitalitas subjek dan objek matematika, misalnya keadaan baik atau buruknya matematika, pantas atau tidak pantasnya matematika, seyogyanya atau tidak seyogyanya matematika, bermanfaat atau tidaknya konsep matematika, dan seterusnya.

d.Pendidikan Karakter melalui Komunikasi Spiritual Matematika

Sifat-sifat korelasional keluar dari konsep matematika menunjukkan keadaan semakin jelas dan tegasnya apakah dalam bentuk ke luar ke atas atau ke luar ke bawah.

Korelasionalitas potensi dan vitalitas matematika ke atas akan mentransformasikan bentuk komunikasi ke dimensi yang lebih atas yaitu komunikasi spiritual matematika.

Di pihak lain, korelasional potensi dan vitalitas ke bawah akan mentransformasikan bentuk komunikasi matematika ke dimensi yang lebih bawah, yaitu komunikasi formal matematika atau komunikasi material matematika.

Maka komunikasi spiritual matematika menampung semua komunikasi yang ada dan yang mungkin ada. Komunikasi ke dalam akan memberikan sifat penunjukan absolut bagi subjek dan objek matematika.

Komunikasi ke luar ke atas akan meluruhkan semua sifat subjek dan objek matematika sehingga dicapai keadaan subjek dan objek komunikasi dengan sifat tanpa sifat.

Keadaan subjek dengan sifat tanpa sifat itu adalah keadaan di mana subjek dan objek komunikasi juga meluruh ke dalam keadaan di mana subjek dan objek matematika yang tidak dapat dibedakan lagi.

Artinya, tiada subjek dan objek komunikasi matematika pada tataran metafisik dari komunikasi spiritual dapat diidentifikasi dengan menggunakan hubungan korelasional potensi dan vitalitas subjek dan objek.

Hubungan korelasional ke dalam kemudian mentransformaikans semua potensi dan vitalitas matematika ke dalam subjek absolut.

Subjek absolut merupakan subjek dengan dimensi tertinggi yang mengatasi segala subjek dan objek komunikasi sekaligus juga mengatasi semua jenis komunikasi yang ada dan yang mungkin ada.

E.Pendidikan Karakter di dalam Pengembangan dan Inovasi Pendidikan Matematika

Implementasi pendidikan karakter di dalam kaitannya dengan pengembangan dan inovasi pendidikan matematika dapat diperoleh melalui berbagai kegiatan yang mencakup semua aspek pembelajaran matematika.

Berbagai persoalan dan tantangan akan timbul sesuai dengan konteks ruang dan waktu dimana pembelajaran matematika itu diselenggarakan.

Berikut adalah butir-butir yang dapat digunakan sebagai bahan renungan dan kajian lebih lanjut:
1)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam pengembangan PBM matematika yang menekankan kepada proses?
2)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui pembelajaran matematika kooperatif learning?
3)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam belajar kelompok matematika?
4)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui belajar matematika di luar kelas?
5)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui permainan matematika?
6)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui variasi model pembelajaran matematika?
7)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui pemanfaatan benda-benda konkret dalam PBM matematika?
8)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam pembelajaran kontekstual matematika?
9)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui pemanfaatan alam sekitar dalam PBM matematika?
10)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui team teaching matematika?
11)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dengan cara mendorong inisiatif siswa dalam PBM matematika?
12)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dengan cara meningkatkan peran siswa dalam PBM matematika?
13)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui pengembangan variasi sumber belajar matematika?
14)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui pemanfaatan alat peraga matematika?
15)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter berbagai percobaan matematika?
16)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam perencanaan pembelajaran matematika yang inovatif?
17)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter pada diskusi matematika?
18)Bagaimanakah guru mampu memonitor aspek pendidikan karakter dalam PBM matematika?
19)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam lesson study pembelajaran matematika?
20)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui kegiatan presentasi siswa?
21)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui kemandirian belajar matematika?
22)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui peningkatan peran fasilitator guru?
23)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam kegiatan asesment matematika?
24)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui kegiatan remedial matematika?
25)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter pada kegiatan apersepsi siswa?
26)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan melalui variasi interaksi dan komunikasi matematika?
27)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui peningkatan kreativitas siswa?
28)Bagaimanakah mewujudkan portfolio pendidikan karakter dalam PBM matematika?
29)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui kegiatan konstruksi konsep-konsep matematika secara mandiri?
30)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter melalui matematika realistik?
31)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam kegiatan refleksi siwa?
32)Bagaimanakah mengembangkan instrument observasi pendidikan karakter dalam PBM matematika?
33)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter yang selaras dengan konsep “Education is for All?”
34)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter sesuai dengan kebutuhan belajar matematika siswa?
35)Bagaimanakah mewujudkan pendidikan karakter dalam pengembangkan LKS pembelajaran matematika?


E. Kesimpulan

Untuk dapat mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika diperlukan pemahaman tentang makna karakter, karakter bangsa, matematika dan pendidikan matematika pada berbagai dimensi.

Dimensi makna karakter dalam pendidikan matematika dapat dilihat dari sisi dimensi karakter matematika, karakter pendidikan matematika yang meliputi karakter guru matematika dan karakter siswa belajar matematika, baik untuk contoh-contoh konkret maupun bentuk-bentuk idealnya.

Pengembangan karakter dalam pendidikan matematika dapat dilaksanakan dengan mengembangkan komunikasi material, komunikasi formal, komunikasi normative, dan komunikasi spiritual.

Dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika, kita memerlukan pendekatan yang lebih cocok dengan dunia siswa belajar matematika.

Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika ditentukan seberapa jauh kita mampu mendefinisikan dan mengimplementasikan konsep dasar matematika sekolah.

Matematika sekolah yang cocok dengan pendidikan karakter antara lain menganggap matematika sebagai kegiatan menelusuri pola-pola, kegiatan penelitian atau investigasi, kegiatan pemecahan masalah, dan kegiatan komunikasi.

Pada akhirnya, implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika diharapkan dapat berkontribusi pada keunggulan bangsa melalui inovasi pembelajran matematika yang dilakukan secara terusmenerus baik secara instrinsik, ekstrinsik, atau sistemik.

DAFTAR PUSTAKA
Ebbutt, S dan Straker, A., 1995, Children and Mathematics: A Handbook for Teacher, London: Collins Educational.
Ernest, P., 1991, The Philosophy of Mathematics Education, London: The Falmer Press.
Kant, I., 1781, “The Critic Of Pure Reason: SECTION III. Systematic Representation of all Synthetical Principles of the Pure Understanding” Translated By J. M. D. Meiklejohn, Diunduh tahun 2003
Shirley, 1986, Mathematics Ideology, London : The Falmer Press
Read more >>

Elegi Mendengarkan Tangisan Para Filsuf


Marsigit:
Wahai sang Filsuf, mengapa engkau sekarang betul-betul menangis?

Para Filsuf:
Karena memikirkan ulah Dirimu dan Murid-muridmu.

Marsigit:
Lho kenapa? Memang apa yang salah pada Diriku dan Murid-muridku?

Para Filsuf:
Engkau terancam Gagal dan Murid-murid terancam Terperangkap di Ruang dan Waktu gelap

Marsigit:
Saya tidak begitu jelas?

Para Filsuf:
Saya memaklumi bahwa Belajar Filsafat tidak mudah, karena sifat Intensif dan Ekstensif. Filsafat adalah Pikiran Para Filsuf. Jika tidak mau membaca Pikiran Para Filsuf maka Tidak Akan Memperoleh Apapun kecuali Dirimu dan Murid-muridmu akan menjelma menjadi seorang Reduksionis terbesar di dunia. Padahal sebenar-benar orang paling berbahaya di dunia adalah seorang Reduksionis yang Determinis. Wahai Marsigit, apakah kemudian yang engkau lakukan terhadap murid-muridmu?

Marsigit:
Oh maaf Para Filsuf. Aku telah menciptakan Elegi-elegi dan Forum Tanya Jawab dengan harapan agar Murid-muridku memulai membaca Filsafat. Aku berusaha membelajarkan Filsafat dengan Metode Filsafat. Aku berusaha memfasilitasi agar Murid-muridku MAMPU MEMBANGUN FILSAFATNYA MASING-MASING dengan Ikhtiarnya masing-masing. Oleh karena itu maka Perkuliahan juga saya Dukung dengan On Line menggunakan Web Blog.

Para Filsuf:
Bagaimana hasilnya?

Marsigit:
Saya menyaksikan banyak diantara Muridku mengalami kemajuan pesat; mereka mengalami perkembangan yang sungguh mengagumkan karena telah mampu mengembangkan metode berpikir Filsafat. Walaupun saya juga menyaksikan beberapa diantara mereka Terjebak hanya membuat komen-komen singkat dan kelihatannya belum Ikhlas. Saya menemukan juga bahwa ada sebagian kecil Murid-muridku Terjebak di Ruang dan Waktu Gelap.Seiring dengan semakin Singkatnya Waktu dan Sempitnya Ruang, saya menemukan beberapa murid-muridku Belum Sempat membaca Pikiranmu sehingga menjelmalah dia menjadi Reduksionis besar. Lalu kenapa Engkau menangis?

Para Filsuf:
Itulah, saya menangis karena saya menemukan semakin banyak Murid-muridmu menjadi Reduksionis. Ketahuilah bahwa BERFILSAFAT TANPA MEREFER ATAU MENGACU KEPADA PIKIRAN PARA FILSUF, SUNGGUH TIADA NILAI KEBANARAN DI SITU. MAKA HASILNYA SANGAT KONTRAPRODUKTIF DAN JUSTRU MALAH BERBAHAYA KARENA AKAN TERCIPTA SEBAGAI SEORANG DITERMINIS.

Marsigit:
Saya sudah mengatakan kepada Murid-muridku bahwa Elegi-elegi itu hanyalah Pendahuluan. Sedangkan Filsafat adalah Pikiran Para Filsuf. Sumber terbaik membaca Pikiran Para Filsuf adalah Buku-buku Karya-karyamu. Sedangkan saya sebetulnya sudah menulis banyak Pikiran-pikiranmu secara Implisit di dalam Elegi-elegi.

Para Filsuf:
Lalu kenapa semakin banyak Muridmu terancam menjadi Reduksionist dan Determinis besar?

Marsigit:
Itulah karena sebagian besar dari Murid-muridku juga tidak sempat membaca Elegi-elegi. Siapa contohnya Reduksinist itu?

Para Filsuf:
Reduksionis Besar adalah jika SERTA MERTA DENGAN ENAKNYA TANPA MEMIKIRKANNYA DAN MENGGUNAKAN BACAAN YANG RELEVAN, TELAH MEMBUAT PERNYATAAN ATAU MELAKUKAN KLAIM. Dan itulah yang aku saksikan yang sedang dan akan menimpa pada Murid-muridmu.

Marsigit:
Oh maaf para Filsuf. Itu semua dikarenakan Dosa-dosaku. Aku telah sangat berdosa kepada Murid-muridku karena telah melakukan beberapa Test Jawab Singkat. Dengan Test Jawab singkat itulah aku telah melakukan Reduksi-reduksi Filsafat. Bahkan aku sempat Tayangkan hasilnya di dalam Blog ini. Namun sebenarnya sudah aku sampaikan kepada Murid0muridku bahwa Sangatlah Berbahaya Menjawab Singkat Filsafat itu, karena bisa terancam menjelma menjadi Reduksionis Salah Ruang dan Waktu.
Agar Murid-muridku betul-betul mempunyai kesempatan Membaca Buku Filsafat yang bersisi Pikiran-pikiranmu, saya sudah Memberi Tugas Membuat Makalah sebagai Tugas Akhir. Lalu, kenapa engkau masih menangis?

Para Filsuf:
Engkau hanya melihat Air Mataku saja yang mengalir di pipiku. Sebetulnya setelah menangis aku juga tersenyum. Tidak hanya itu, dan itulah salah satu kemampuanku bahwa aku bisa menangis dan sekaligus tersenyum. Aku menangis jika menemukan Murid-muridmu menjelma menjadi Reduksionis dan Determinis ulung. Sedangkan Aku tersenyum jika menemukan Murid-muridmu menjelma menjadi Reduksionis dan Determinis ulung.

Marsigit:
Lho kok saya jadi bingung. Engkau menangis dantersenyum dikarenakan hal yang sama yaitu menemukan Reduksinist dan Diterminis ulung. Bagaimana ini?

Para Filsuf:
Yang aku tangisi adalah Reduksionis dan Determinis dengan RUANG DAN WAKTU SALAH/BURUK.
Yang aku banggakan adalah Reduksionis dan determinis dengan RANG DAN WAKTU BENAR/BAIK.

Read more >>
Category: 0 komentar